04 Juni 2014

Cerita Dibalik Tulisan

    Rabu, Juni 04, 2014  

Foto : Budi CC-line
Cerutu hitam tampak mengepul asapnya hingga beterbangan kesana kemari. Dengan santainya kakek tua itu menikmati sisa-sisa hari tuanya. Bahkan setiap malam datang ia hanya berteman dengan 2 buah lampu teplok kecil yang ada di dinding bambu. Kali ini si kakek bertengger di depan rumah sambil kipas-kipas dengan kipas anyaman bambu. 

Ia adalah kakek Somat penghuni gubuk dengan dinding bambu yang kian reyot karena termakan usia serta beratapkan jerami. Tampaknya kehidupan tidak berpihak padanya. Sepeninggal istri tercintanya kakek yang kini lansia itu memutuskan untuk tetap tinggal sendirian di dalam gubuk itu.

Makan minum bahkan untuk keperluan lain-lain sengaja ia tak ingin menyusahkan tetangga kanan kirinya. Ia hanya bergantung pada alam, entah musim hujan atau kemarau ia tak peduli ia tetap berusaha naik turun lereng gunung yang terjal setiap hari hanya demi sebuah nama hidup.

Menurutnya hidup yang seperti ini lah yang membuatnya nyaman dibandingkan harus tinggal bersama anaknya di kota metropolitan. Marwan adalah anak kakek Somat dengan istrinya yang telah almarhumah 10 tahun lalu. Namun Marwan memiliki tabiat yang buruk, bahkan tampaknya Marwan tak bisa menerima kehadiran kakek Somat saat waktu lalu berkunjung kerumah anaknya itu.
        
"Aku lebih suka begini nak, sebenarnya berat tapi mau bagaimana lagi?" Curhat kakek Somat ketika aku betanya soal hidupnya.

"Sebenarnya faktor apa kek yang membuat anak kakek tidak peduli terhadap keadaan kakek?" Tanyaku menggali informasi.
         
"Entahlah nak, saya juga tak mengerti dengan perlakuan Marwan. Mungkin ia malu terhadap saya yang orang miskin ditambah lagi orang desa." Kembali menjawab pertanyaanku dengan tatapan jauh seperti menembus dinding beranyam bambu itu.
          
"Seperti apa sih perlakuan anak kakek?" Tanyaku kembali.
         
"Ya, ketika saya pernah mengunjungi dan ingin tinggal di rumahnya, tapi ia membentak-bentak saya. Bahkan saya seperti tak ada harganya lagi. Padahal ia adalah anak kakek satu-satunya." Tiba-tiba saja air mata kakek sebatang kara itu meleleh dan membasahi pipi kerutnya.
          
"Yang sabar ya kek, semua pasti akan ada hikmahnya." Balasku seraya menenangkan kakek tua itu.
         
"Iya...nak, saya selalu sabar." Tambah kakek.

Ku lanjutkan kembali mewawancarai kakek malang itu,
"Lantas jika kakek tiba-tiba sakit bagaimana?"
          
"Huuuuffftt......." Kakek menghela nafas panjang.
          
"Hanya tetangga yang  masih  mau baik dengan saya nak, mereka kadang menjengukku, bertanya keadaanku dan mungkin mereka melakukan itu karena mereka iba melihatku seperti ini. Diacuhkan oleh anak kandung sendiri. Tetapi kakek sebenarnya tak ingin dikasihani." Jawaban kakek Somat dengan lembut bahkan air mata diujung matanya menetes kembali membasahi tangannya yang nampak buyutan itu.

***
Iya itulah sekilas tulisan tanganku tentang kakek Somat yang sengaja aku buat untuk sekedar memenuhi obsesiku menulis cerpen. Namun ternyata ada rasa yang tiba-tiba sesak diantara rongga dadaku setelah sesaat aku menuliskan cerita pendek tersebut. Mungkin karena begitu banyak pelajaran yang ku dapat dari wawancara bersama kakek Somat, pelajaran kasih sayang. Aku adalah seorang jurnalis disalah satu majalah ternama di kota ini, jadi tak heran jika aku menulis ini itu. Namaku Reza Ardiano dan aku bukanlah seorang sarjana yang memiliki embel-embel di belakang nama.

Aku bisa bekerja sebagai jurnalis karena semasa SMA aku ulet mengikuti extrakulikuler Jurnalistik untuk majalah di sekolahku, sebut saja majalahnya LENSA DUNIA. Sehingga saat aku lulus lebih memudahkan aku melanjutkan karierku di dunia jurnalistik. Semenjak aku bergelut dengan pekerjaanku ini, tiba-tiba saja aku memiliki hobby baru. Aku lebih sering menulis, entah menulis apa itu. Mulai puisi, opini bahkan cerpen.

Dan suatu ketika aku menjalankan tugas mencari berita disalah satu desa tepat di bawah lereng gunung, aku seperti tertarik oleh magnet kehidupan kakek-kakek tua renta yang telah ditinggalkan oleh istrinya karena meninggal dan anaknya karena malu memiliki Bapak yang telah tua jelek bahkan miskin.
          
Memang diluar tugasku untuk acara realita, namun aku keinginanku untuk mewawancarai kakek itu semakin besar. Bukan karena apa-apa, namun tiba-tiba ambisiku datang untuk membuat sebuah cerita hidup kakek lereng gunung tersebut.
           
Dan cerpen tentang kakek Somat inilah yang ternyata mampu merubah hidupku untuk lebih memperhatikan orang yang sayang kepadaku, Ibu dan Ayah terutama.

"Terima kasih kek, engkau memberikan pengajaran yang sangat berharga bahkan nilainya tak pernah bisa ditukar dengan apapun." Ucapku dengan lirih seraya mencium beberapa lembar cerpen yang akhirnya ku beri judul "Cahaya Diantara Cahaya" yang tokoh utamanya adalah kakek Somat.

 (Di Tulis oleh: Sulistya Windyasari/SuaraBojonegoro)

© 2018 SeputarBojonegoro.comDesigned by Bloggertheme9