TUBAN - Penambang pasir tradisional di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Solo terancam kehilangan mata pencaharian menyusul ambrolnya tanggul di wilayah Kecamatan Soko hingga Kecamatan Widang, Tuban.
Matahari pagi di Dusun Tapang, Desa Campurejo, Kecamatan Rengel, di hari Seni belum setinggi galah. Tapi, Suradi, 47, seorang penambang pasir tradisional di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Bengawan Solo dengan tertatih-tatih menaiki tebing sungai yang airnya mengalir sampai jauh ini.
Otot-ototnya tampak menonjol seolah hendak keluar dari kulitnya yang hitam legam, menahan beratnya pasir yang dipikulnya. Sejenak mata lelaki itu tertegun di antara tempat timbunan pasirnya. Namun ia hanya terpaku sembari terus menatap curiga. Penambangan pasir di DAS Bnegawan Solo memang sudah sejak lama dilarang. Namun bagi Suradi dan umumnya penambang pasir di tempat itu, seberapa pun kerasnya larangan mengambil pasir Bengawan Solo yang diberlakukan, tidak akan pernah menyurutkan nyalinya.
Bagi para penambang seperti Suradi itu, rasa lapar lebih menakutkan ketimbang ancaman aparat. Bahkan, pusaran air di Bengawan Solo yang sewaktu-waktu bisa mengancam nyawanya, tak pula dihiraukan. ”Sekarang semuanya serba sulit. Hanya ini satu-satunya jalan hidup saya,” kata Suradi. Walau pun dalam sehari belum tentu mereka berhasil mengantongi Rp 10 ribu, menurut mereka itu lebih baik daripada membiarkan dapur keluarganya tak mengepul.
Pasir yang diangkut sedikit demi sedikit dari dasar bengawan Solo itu, tidak bisa langsung ditukarkan uang. Suradi perlu waktu sepuluh hari untuk bisa merasakan hasil kerja keras beresiko tinggi itu. Malah sering pula sebulan belum juga ada truk yang datang mengangkutnya.Pasir hitam di tempat itu, konon, mutunya tidak terlalu bagus, sehingga sangat jarang diminati pembeli, walau harganya jauh lebih murah dari pasir dari Jombang atau Bojonegoro.
Untuk tiap rit atau satu truk ban dobel, kata Suradi, dijual Rp 150 ribu Kawan-kawan Suradi berjmlah sekitar 25 orang, hari itu juga tidak tampak. Hanya Suradi dan empat orang penambang pasir yang tampaknya tak peduli larangan petugas.
Tetapi, kata Suradi, rekan-rekan lainnya tidak menambang karena air bengawan mulai naik, bukan lantaran takut pada larangan pemerintah. Jika air sudah mulai naik, ungkap Suradi, pasir yang didapat tidak seberapa bagus dan sedikit sekali. Suradi sendiri mengaku baru berhasil mengangkut tujuh pikul hari itu. Jika air bengawan Solo surut, sehari bisa lebih dari 30 pikul, sejak jam 5 pagi hingga jam 3 sore.
Suradi bukannya tak tahu jika pekerjaannya itu mengakibatkan kerusakan lingkungan di DAS Bengawan Solo. Tetapi bapat tiga anak itu tidak mau jika profesinya tersebut dituding menjadi satu-satunya sebab rusaknya tanggul Bengawan Solo. “ Masak hanya dengan cekrak (alat angkut pasir dari anyaman bambu, Red) dan ember saya bisa menjebolkan tanggul,” kilah Suradi tak bermaksud membela diri. (ami/SuaraBojonegoro)
Foto: lensaindonesia.com
Otot-ototnya tampak menonjol seolah hendak keluar dari kulitnya yang hitam legam, menahan beratnya pasir yang dipikulnya. Sejenak mata lelaki itu tertegun di antara tempat timbunan pasirnya. Namun ia hanya terpaku sembari terus menatap curiga. Penambangan pasir di DAS Bnegawan Solo memang sudah sejak lama dilarang. Namun bagi Suradi dan umumnya penambang pasir di tempat itu, seberapa pun kerasnya larangan mengambil pasir Bengawan Solo yang diberlakukan, tidak akan pernah menyurutkan nyalinya.
Bagi para penambang seperti Suradi itu, rasa lapar lebih menakutkan ketimbang ancaman aparat. Bahkan, pusaran air di Bengawan Solo yang sewaktu-waktu bisa mengancam nyawanya, tak pula dihiraukan. ”Sekarang semuanya serba sulit. Hanya ini satu-satunya jalan hidup saya,” kata Suradi. Walau pun dalam sehari belum tentu mereka berhasil mengantongi Rp 10 ribu, menurut mereka itu lebih baik daripada membiarkan dapur keluarganya tak mengepul.
Pasir yang diangkut sedikit demi sedikit dari dasar bengawan Solo itu, tidak bisa langsung ditukarkan uang. Suradi perlu waktu sepuluh hari untuk bisa merasakan hasil kerja keras beresiko tinggi itu. Malah sering pula sebulan belum juga ada truk yang datang mengangkutnya.Pasir hitam di tempat itu, konon, mutunya tidak terlalu bagus, sehingga sangat jarang diminati pembeli, walau harganya jauh lebih murah dari pasir dari Jombang atau Bojonegoro.
Untuk tiap rit atau satu truk ban dobel, kata Suradi, dijual Rp 150 ribu Kawan-kawan Suradi berjmlah sekitar 25 orang, hari itu juga tidak tampak. Hanya Suradi dan empat orang penambang pasir yang tampaknya tak peduli larangan petugas.
Tetapi, kata Suradi, rekan-rekan lainnya tidak menambang karena air bengawan mulai naik, bukan lantaran takut pada larangan pemerintah. Jika air sudah mulai naik, ungkap Suradi, pasir yang didapat tidak seberapa bagus dan sedikit sekali. Suradi sendiri mengaku baru berhasil mengangkut tujuh pikul hari itu. Jika air bengawan Solo surut, sehari bisa lebih dari 30 pikul, sejak jam 5 pagi hingga jam 3 sore.
Suradi bukannya tak tahu jika pekerjaannya itu mengakibatkan kerusakan lingkungan di DAS Bengawan Solo. Tetapi bapat tiga anak itu tidak mau jika profesinya tersebut dituding menjadi satu-satunya sebab rusaknya tanggul Bengawan Solo. “ Masak hanya dengan cekrak (alat angkut pasir dari anyaman bambu, Red) dan ember saya bisa menjebolkan tanggul,” kilah Suradi tak bermaksud membela diri. (ami/SuaraBojonegoro)
Foto: lensaindonesia.com