02 Juni 2014

Ku Rindukanmu

    Senin, Juni 02, 2014  

Foto: Ilustrasi
Kulihat seluruh sudut sekolah namun nampaknya masih saja sepi. Langkah kaki ini semakin tak beraturan, ada pikiran yang sangat berkecamuk disana. Seperti ingin segera ku selesaikan. Pintu kelas terbuka lebar, segera aku masuk dan ku hempaskan seluruh badanku di bangku. Tiba-tiba saja air mata ini mengalir seperti air sungai yang akan menuju muaranya.

"Tuhan, salahkah aku dilahirkan dan hidup di dunia-Mu ini." Gumamku.

Kembali ku mengusap air mata ini sesekali ku bertanya, "Ayah, haruskah aku merasakan pahitnya hidup ini? Aku merindukanmu Ayah, tapi apakah kau merindukanku pula? Tapi rasa kebencian ini semakin besar jika aku merindukanmu" Air mata macam apa ini, mengalir tanpa batas bahkan semakin deras. Ku tatap dengan tajam papan tulis depan ku seakan ada bayangan seorang laki-laki paruh baya yang tak asing lagi bagiku.

Ku mendekat dan semakin dekat, bayangan itu senyum dengan sinis dan mengerutkan dahi serasa ada gejolak dalam hatinya.

"Ayah !!" Hanya satu kata yang ku ucap.

Namun setelah ku mendekat dan ingin ku memeluknya, tiba-tiba saja bayangan itu menghilang. Ku tertunduk lemas, ada kekecewaan yang tak bisa ku jelaskan. Kekecewaan yang terjadi seperti 5 tahun yang lalu, Ayah ku seperti srigala yang selalu buas. Itu pun terjadi pada Ayahku, ia selalu seperti orang yang terbakar jenggotnya ketika pulang malam dari acara berpangku tangannya. Kekalahan membuatnya murka.
      
Pernah suatu saat ketika ia kalah banyak terhadap teman mainnya sebut saja Togar. Ia pulang dalam keadaan mabuk, badannya tak mampu lagi menopang jalannya. Namun sampai di rumah ia buas, Ibu selalu menjadi sasarannya yang ketika itu aku masih duduk di bangku SD. Aku hanya diam dan menangis di sudut ruang menyaksikan perlakuan Ayah terhadap ibu tanpa berani melakukan perlawanan.
       
Mungkin dari kejadian itu atau bahkan karena faktor lain, akhirnya Ayah dan ibu berpisah. Aku tak bisa menerima kenyataan ini, aku memberontak. Aku tak ingin orang tua ku seperti ini tetapi aku juga bisa merasakan luka pada ibuku selama bersama ayah.
       
Bahkan sejak itulah aku tak pernah bertemu ayah lagi sampai saat ini. Dulu memang aku membenci karena tabiat buruknya, tapi kini aku merindukan sosok Ayah. Tak ku sadari bahkan tiap aku menyaksikan seorang anak bersama ayahnya aku selalu iri. Kejadian 5 tahun silam menguras semua kebahagiaanku bahkan sampai aku tua nanti.
       
 "Kriiiiiing...kriiiiing...." Bunyi bel sekolah tanda waktu belajar dimulai. Aku bergegas berdiri dan mengusap usap air mata yang masi membasahi pipi. Nampak dari pintu kelas sosok Anak manusia menghapiriku, dia adalah Fanya sahabatku.
      
"Heiii Nia, kamu kenapa kok bengkak begitu matanya? Kamu sakit?" Sergap Fanya.

"Ohh gak kok, aku gak apa. Ya sudah kita duduk yuk lagian sudah ada pak Ibrahim tuh." Jawabku.
Aku dan Fanya duduk satu bangku, dia hanya diam memandangku dengan pilu. Tatapanku kosong yang ku fikirkan hanyalah satu, "Dimana Ayahku." Iya itulah pertanyaan yang selama ini belum mampu ku pecahkan jawabannya. "Dan apakah benar seperti orang bilang, waktu yang akan menjawabnya? Entahlah !!" Gumamku dalam hati seraya melinangkan air mata. [bersambung]

Sulistya Windya Sari
Alumni SMA Negeri 1 Kalitidu

© 2018 SeputarBojonegoro.comDesigned by Bloggertheme9