Foto: Ilustrasi |
Kulihat seluruh sudut sekolah namun
nampaknya masih saja sepi. Langkah kaki ini semakin tak beraturan, ada pikiran
yang sangat berkecamuk disana. Seperti ingin segera ku selesaikan. Pintu kelas
terbuka lebar, segera aku masuk dan ku hempaskan seluruh badanku di bangku. Tiba-tiba
saja air mata ini mengalir seperti air sungai yang akan menuju muaranya.
"Tuhan, salahkah aku
dilahirkan dan hidup di dunia-Mu ini." Gumamku.
Kembali ku mengusap air mata ini
sesekali ku bertanya, "Ayah, haruskah aku merasakan pahitnya hidup ini? Aku
merindukanmu Ayah, tapi apakah kau merindukanku pula? Tapi rasa kebencian ini
semakin besar jika aku merindukanmu" Air mata macam apa ini, mengalir
tanpa batas bahkan semakin deras. Ku tatap dengan tajam papan tulis depan ku
seakan ada bayangan seorang laki-laki paruh baya yang tak asing lagi bagiku.
Ku mendekat dan semakin dekat,
bayangan itu senyum dengan sinis dan mengerutkan dahi serasa ada gejolak dalam
hatinya.
"Ayah !!" Hanya satu kata
yang ku ucap.
Namun setelah ku mendekat dan ingin ku memeluknya, tiba-tiba saja bayangan itu menghilang. Ku tertunduk lemas, ada kekecewaan yang tak bisa ku jelaskan. Kekecewaan yang terjadi seperti 5 tahun yang lalu, Ayah ku seperti srigala yang selalu buas. Itu pun terjadi pada Ayahku, ia selalu seperti orang yang terbakar jenggotnya ketika pulang malam dari acara berpangku tangannya. Kekalahan membuatnya murka.
Pernah suatu saat ketika ia kalah
banyak terhadap teman mainnya sebut saja Togar. Ia pulang dalam keadaan mabuk,
badannya tak mampu lagi menopang jalannya. Namun sampai di rumah ia buas, Ibu
selalu menjadi sasarannya yang ketika itu aku masih duduk di bangku SD. Aku
hanya diam dan menangis di sudut ruang menyaksikan perlakuan Ayah terhadap ibu
tanpa berani melakukan perlawanan.
Mungkin dari kejadian itu atau
bahkan karena faktor lain, akhirnya Ayah dan ibu berpisah. Aku tak bisa
menerima kenyataan ini, aku memberontak. Aku tak ingin orang tua ku seperti ini
tetapi aku juga bisa merasakan luka pada ibuku selama bersama ayah.
Bahkan sejak itulah aku tak pernah
bertemu ayah lagi sampai saat ini. Dulu memang aku membenci karena tabiat
buruknya, tapi kini aku merindukan sosok Ayah. Tak ku sadari bahkan tiap aku
menyaksikan seorang anak bersama ayahnya aku selalu iri. Kejadian 5 tahun silam
menguras semua kebahagiaanku bahkan sampai aku tua nanti.
"Kriiiiiing...kriiiiing...." Bunyi
bel sekolah tanda waktu belajar dimulai. Aku bergegas berdiri dan mengusap usap
air mata yang masi membasahi pipi. Nampak dari pintu kelas sosok Anak manusia
menghapiriku, dia adalah Fanya sahabatku.
"Heiii Nia, kamu kenapa kok
bengkak begitu matanya? Kamu sakit?" Sergap Fanya.
"Ohh gak kok, aku gak apa. Ya sudah kita duduk yuk lagian sudah ada pak Ibrahim tuh." Jawabku.
Aku dan Fanya duduk satu bangku,
dia hanya diam memandangku dengan pilu. Tatapanku kosong yang ku fikirkan
hanyalah satu, "Dimana Ayahku." Iya itulah pertanyaan yang selama ini
belum mampu ku pecahkan jawabannya. "Dan apakah benar seperti orang
bilang, waktu yang akan menjawabnya? Entahlah !!" Gumamku dalam hati
seraya melinangkan air mata. [bersambung]
Sulistya Windya Sari
Alumni SMA Negeri 1 Kalitidu