Rasa takut adalah sesuatu yang manusiawi, terutama rasa takut
kehilangan orang yang kita sayangi atau cintai, namun rasa takut
tersebut seringkali malah menimbulkan sebuah obsesi yang mengekang,
membatasi dan membuat orang yang kita sayangi menjadi tidak nyaman,
bahkan depresi.
Sayangnya, banyak orang yang seringkali mengatasnamakan cinta untuk
“mewajarkan” rasa takutnya. Selain itu, orang seringkali sulit
membedakan antara rasa cinta dan obsesi.
Seseorang yang mencintaimu, dia akan selalu ingat dan menjadikan kamu
sebagai motivasinya, dia mungkin akan bawel dan banyak menasihati kamu,
tapi dia tidak akan tega melihatmu menderita, dia akan menjauhkan egonya
demi kamu.
Sedang orang yang terobsesi dengan kamu akan selalu merasa takut, curiga
dan tidak percaya dan cenderung mengekang kamu, bahkan menghalalkan
segala cara untuk mendapatkan kamu yang merupakan egonya, dia akan lebih
mudah marah dan cenderung tidak peduli akan perasaan kamu. Celakanya,
orang-orang seperti ini, mengatasnamakan “cinta” untuk “obsesi” yang
mungkin dia sendiri tidak sadari. Kamu adalah miliknya dan harus menjadi
miliknya.
Cinta egois, cinta memiliki. Ya benar, cinta memang egois, cinta memang
berharap untuk memiliki, namun cinta sejati tidak akan pernah rela
melihat orang yang dia cintai terluka, sekali pun dia harus mengalah dan
menderita. Sebuah kisah yang kedengaran klise, tapi memang begitu
adanya.
Setiap orang punya alasan untuk takut, namun seseorang yang terobsesi
memiliki ketakutan yang tidak wajar dan bahayanya adalah, obsesi tidak
akan bertahan lama, begitu dia mendapatkan apa yang menjadi obsesinya
atau apa yang membuat dia terobsesi hilang, maka dia bahkan tidak akan
melirik kamu sedikit pun.
Ada pun alasan untuk seseorang terobsesi ada bermacam-macam, tergantung
individunya. Ada yang terobsesi dengan kekayaan, kecantikan, ketenaran
dan sebagainya.
Saat seseorang mencintai kamu, dia tidak akan menemukan alasan untuk
tidak bersama kamu, di matanya, kamu adalah segalanya, bahkan tidak ada
sedikit pun keinginan untuk berpaling. Namun saat seseorang terobsesi
denganmu, dia akan cenderung bahagia awalnya, namun terlihat memaksakan
diri pada akhirnya.
Saya akan memberikan beberapa contoh obsesi, misalnya saja terjadi
dengan pasangan yang hamil di luar nikah, terutama jika pria atau
wanitanya atau keduanya masih belum dewasa, maka mereka tidak akan
menyadari bahwa cinta mereka adalah sebuah obsesi.
Kenapa saya katakan demikian? Kita lihat saja fenomena banyaknya jomblo
yang merasa kesepian dan banyak di antara mereka berharap mendapatkan
pasangan, mulai dari yang hanya demi gengsi sampai yang memang
merindukan kehadiran kekasih.
Umumnya, mereka tidak paham dan belum dewasa dengan cinta, sehingga
mereka menggebu-gebu di awal dan kemudian menjadi terobsesi akan sebuah
“status” yang pada akhirnya tidak membuat mereka bahagia. Pada akhirnya,
bisa jadi hanya salah satu pihak yang bahagia atau keduanya malah tidak
bahagia.
Dalam beberapa kasus yang pernah saya temui, seorang pria terobsesi
dengan “sex”, terutama untuk mereka yang masih remaja, sedang wanita
terobsesi dengan status “kekasih”. Mereka menjalin hubungan dan
kemudian, saat pria tersebut mendapatkan apa yang menjadi obsesinya,
maka pria tersebut kehilangan perasaannya begitu saja dan mulai merasa
bahwa wanita tersebut menyebalkan.
Sedang, wanita tersebut karena sudah terikat emosi dan perasaan “takut”
- takut karena sudah tidak perawan dan kemudian ditinggalkan, takut
karena merasa bahwa tidak akan ada lagi pria yang mau menerima dirinya
apa adanya. Pada akhirnya, wanita tersebut menjadi terobsesi dengan pria
tersebut dengan mengekang dan berusaha menahannya. Sehingga, tidak
jarang pasangannya menjadi tidak nyaman dan meninggalkannya.
Ironis memang, bagaimana sebuah obsesi bisa menciptakan obsesi lainnya
dan kemudian menghancurkan segalanya. Namun, itu adalah sebuah kenyataan
yang seringkali terjadi pada anak muda zaman sekarang, paling tidak
berdasarkan curhat yang sering saya terima.
Satu yang saya percaya, bahwa obsesi seringkali berakhir buruk, hanya
masalah waktu saja, apakah akan berakhir cepat atau berakhir
pelan-pelan, namun yang pasti, selalu meninggalkan penyesalan.
Saya sering menemui masalah seperti ini, di mana pernikahan menjadi
hancur karena pihak ketiga, hancur karena dimulai dengan obsesi seperti
ilustrasi di atas, sehingga mengorbankan banyak pihak termasuk anak-anak
mereka. Banyak sekali hubungan yang dimulai dengan obsesi berakhir
dengan “hubungan terpaksa” karena “nasi sudah jadi bubur” ditambah bonus
penyesalan.
Kasus lainnya, seorang wanita yang mencintai seorang pria karena
kegantengan dan kekayaannya. Namun, apalah arti kegantengan dan kekayaan
jika tidak diiringi dengan moral? (Bukan berarti pria jelek dan miskin
moralnya bagus :p), semua balik ke individunya masing-masing. Memang,
untuk menilai dan mencari pasangan yang tepat, sangat sulit, bahkan
orang yang sudah tinggal bersama selama 50 tahun saja, belum tentu
“mengenal” dan memahami satu sama lain.
Sayangnya, seringkali kita melepaskan orang yang mencintai kita untuk
mengejar obsesi atau ego kita. Kadang kita lebih suka dengan lawan jenis
yang membuat kita “penasaran” dibanding yang sudah kita “dapatkan”.
Wanita lebih suka dengan pria yang bisa memainkan emosinya, bukan yang
“terlalu” baik padanya (Makanya jangan heran kalau ada banyak wanita
yang bilang, “kamu terlalu baik” ketika mutusin seorang pria, atau
wanita yang selalu tergila-gila pada bad boy), tapi balik lagi, semua
tergantung wanitanya. Secara naluri, hampir semua wanita seperti itu
sadar atau tidak, namun untuk beberapa wanita terutama mereka yang
mendambakan kasih sayang dan jarang mendapatkannya, akan jauh lebih
mampu menghargai atau bahkan terobsesi dengan kebaikan seorang pria.
Sedang pria lebih suka dengan wanita yang bisa melumpuhkan logikanya,
atau membuatnya penasaran dibanding wanita yang sudah pasti akan selalu
ada untuknya (Makanya jangan heran kalau banyak pria yang selingkuh),
tapi balik lagi, semua tergantung prianya. Secara naluri, hampir semua
pria seperti itu sadar atau tidak, namun beberapa pria, terutama jika
mereka sangat mencintai pasangannya atau wanita lain tersebut tidak
lebih baik dari pasangannya, maka mereka tidak akan tergoda.
Bedanya, wanita lebih mampu menahan diri untuk setia, sedang pria jauh
lebih mudah tergoda untuk berselingkuh, apalagi jika gayung bersambut.
Karena pria, terutama mereka yang sudah menikah, cenderung melihat
istrinya dengan logika sedangkan wanita lain dengan emosi/perasaan
(Makanya jangan heran jika banyak pria yang bersikap manis pada wanita
lain, tapi tidak pada istrinya).
Karena teori saya, “emosi/perasaan bisa melumpuhkan logika” dan pria
cenderung menggunakan logika, namun ketika logika mereka lumpuh karena
perasaan mereka, maka mereka bisa digiring kemana pun.
Wanita cenderung menggunakan emosinya, bukan berarti tidak mungkin untuk
berselingkuh, namun wanita jauh lebih mampu mengendalikan diri. Wanita
pada umumnya jauh lebih memikirkan keluarga dan anak-anaknya.
Saya seringkali mengatakan dan bertanya pada orang-orang yang curhat
kepada saya, apa kalian tahu bedanya cinta dan obsesi? Dan apa kah benar
mereka jatuh cinta atau hanya sekedar terobsesi? Ternyata hampir
sebagian besar setelah berbicara pada saya, mengatakan bahwa mereka
terobsesi dan bukan mencintai.
Obsesi mereka seringkali menyakiti diri mereka dan pasangannya karena
mereka jadi terlalu memaksa diri dan kehendaknya. Saya merasa prihatin,
karena melihat banyaknya pasangan yang tidak bahagia, namun saya sadar
semua bisa terjadi karena minimnya pengetahuan dan pemahaman mereka
tentang “cinta” itu sendiri atau dengan kata lain, mereka belum siap
untuk mencintai dan dicintai.
Namun saya selalu percaya bahwa, kita belajar dari pengalaman. Kita
mungkin terjatuh berkali-kali sebelum menemukan pasangan yang tepat,
sebelum mengerti arti “cinta” yang sesungguhnya.
Cinta adalah sesuatu yang abstrak, karena setiap dari kita pasti
mendefinisikan cinta dalam makna yang berbeda, namun kita semua pasti
sepakat bahwa cinta adalah sebuah perasaan. Sehingga untuk mendapatkan
cinta yang sejati, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu, apa arti
“cinta” bagi kita? Apakah benar kita cinta pada pasangan kita, atau
hanya terobsesi padanya?
Satu pesan penutup saya, cintai lah seseorang bukan karena kamu
menginginkan sesuatu darinya, tapi cintai lah seseorang karena kamu
memang membutuhkannya untuk mengisi hidupmu. Lebih baik menjadi jomblo
dalam waktu lama, daripada menghabiskan sisa hidup bersama orang yang
salah. (oleh : Ryu Kiseki/Kompasiana.com/Foto: Ilustrasi)
#Trending
-
SeputarBojonegoro.com - Afif Fuad H. Bojonegoro - Sudah tidak dipungkiri keinginan masyarakat Desa Kadungrejo Kecamatan Baureno memiliki ja...
-
Reporter : Bima Rahmat suarabojonegoro.com - Siang hari ini Kecamatn sugihwaras di gegerkan dengan bermunculnya Hantu Pocong yang san...
-
1. SAMSUL ARIF Samsul Arif Munip (lahir di Desa Mojodelik, Kecamatan Ngasem, Bojonegoro, Jawa Timur, Indonesia, 14 Januari 1985; umu...
-
Oleh : Bang Doel SeputarBojonegoro.com - Pragelan, sebuah desa yang terletak di paling ujung barat kecamatan Gondang, desa yan...
-
SuaraBojonegoro -Kerambit lahir di negeri ini. Itu artinya Kerambit adalah salah satu senjata warisan budaya. Namun sayang jenis senjata ...