Oleh : Didik Wahyudi*
Sepak terjang Bupati Bojonegoro, Suyoto atau lebih populer dipanggil kang Yoto dalam kepemimpinannya mampu menunjukkan berbagai prestasi bahkan sempat diganjar dengan berbagai penghargaan. Janjinya dalam komunikasi politik tebar pesona dengan jargon melebihi Lamongan mendekati kebenaran karena Bojonegoro mampu memproduksi penghargaan di berbagai bidang saat masa kepemimpinan kang Yoto.
Penghargaan tersebut tentu menarik perhatian berbagai pihak mulai akademisi, tokoh politik, peneliti dari luar negeri, aktifis sosial, kalangan pengusaha, tokoh agama, ataupun rakyat jelata.
Namun meski begitu kang Yoto kurang berhasil dalam hal menata PKL selama dua periode kepemimpinannya, seakan PKL menjadi langganan relokasi (atau bahasa aktifis menggusur) kesana kemari hingga berakibat mengurangi penghasilan mereka ke titik nadir. PKL kurang berutung saat masa pemerintahan kang Yoto lepas pro dan kontra soal berjualan diatas trotoar, dan atas ketidakberhasilannya menata maka diganjar penghargaan adipura.
Penghargaan dan prestasi berbagai bidang itulah yang mejadi alasan media menyebut kang Yoto berpeluang menjadi calon menteri dalam pemerintahan Jokowi-JK mendatang. Isu tersebut sempat santer dibahas berbagai kalangan baik resmi maupun komunitas-komunitas warung kopi bahkan tak ketinggalan tokoh politik lokal di Bojonegoro.
Gaung isu tersebut bahkan melebar karena beberapa aktifis media sosial yang dekat dengan Jokowi menghebuskan isu tersebut dengan kecangnya. Kang Yoto layak menjadi menteri dalam pemerintahan Jokowi-Jk, karena kapabilitasnya, integritasnya, prestasinya, pemikirannya dan mungkin jauh hari kang Yoto lebih dulu melakukan “blusukan” sebelum Jokowi popular dengan trend mark “blusukan”, tepatnya sekitar tahun 2007 lalu atau kurang lebih tujuh tahun lalu.
Lalu berbagai kalangan mengaitkan dengan gaya kepemimpinan keduanya jika benar-benar Kang Yoto menjadi menteri, Jokowi tetap blusukan ke berbagai pelosok Indonesia dan menterinya yakni kang Yoto juga melakukan blusukan.
Blusukan seakan menjadi benang merah dan kode alam keduanya, antara kang Yoto dan Jokowi. Keduanya juga cerdik dan pintar merangkul rakyat jelata hingga memunculkan rasa cinta yang kadang mejadi tidak kritis dengan kebijakan-kebijakan yang kurang menguntungkan mereka.
Cara blusukan inilah yang dicintai rakyat jelata setelah sebelumnya rakyat jelata merasa haus karena jarang disapa kepemimpinan sebelumnya. Rakyat merasa derajatnya sama dengan pemimpinnya saat pemimpinnya bisa tampil apa adanya di hadapan mereka serta bersendau gurau tanpa jarak.
Memakan apa yang mereka makan, meminum apa yang mereka minum dan berbicara dengan gaya bicara mereka. Blusukan seakan menjadi cara yang paling tepat untuk mewujudkan manunggaling kawula gusti atau bersatunya rakyat jelata dengan pemimpinnya.
Namun blusukan tentu berbeda dengan patron manunggaling kawulo gusti, karena blusukan akan menjadi ritus seremonial belaka jika tidak benar-benar melaksanakan keluh kesah rakyat dengan baik, dan rakyat sebenarnya tak menuntut banyak pemimpinnya jika sudah dekat dengan. Blusukan inilah yang mungkin untuk sebagian pihak menilai bahwa sangat pantas bahwa kang Yoto menjadi menteri.
Wacana menjadi menteri ini sempat saya diskusikan dengan ahli komunikasi dan pengamat politik dari Universitas Indonesia, Dr. Ari Junaedi dan sebelum membuka pembicaraan lebih detail rupanya kami ada kesamaan pandangan soal peluang kang Yoto menjadi menteri.
Kami punya cara pandang sama bahwa Kang Yoto sangat tipis peluangnya menjadi menteri dengan bahasa yang paling mudah partainya saja bermusuhan dalam Pilpres kemarin bagaimana caranya mendekat ke Jokowi jika tidak beserta gerbong partainya.
Meski sebelumnya Hatta Rajasa pernah kepergok mengadakan pertemuan dengan Jokowi namun hal tersebut tidak menjamin ada kesepakatan, bahkan ada isu di kalangan tertentu pintu sudah tertutup bagi Hatta Rajasa.
Apalagi saat ini PAN makin bersebrangan setelah mendukung wacana soal pemilukada lewat perwakilan Dewan yang terhormat meski kang Yoto berbeda sikap. Peluang kang Yoto tetap tipis apalagi mungkin jika iya akan tetap dicemburui dengan tokoh partai koalisi Jokowi-Jk, apalagi kang Yoto juga tak berkeringat memperjuangkan pasangan tersebut bahkan menjadi lawannya untuk tingkat lokal.
Namun bagaimanapun juga kang Yoto masih tetap menunjukkan berbagai prestasi selama memimpin Bojonegoro bahkan prestasi dan pengalaman Kang Yoto melebihi walikota Bogor Bima Arya yang juga berasal dari PAN. Tipisnya peluang tersebut diperkuat dengan pendapat Dr. Ari Junaedi yang juga pengajar S2 di Universitas Indonnesia dan S2 di Universitas Diponegoro Semarang, namun tipisnya peluang tidak menutup peluang lain yang jauh menggiurkan dan menantang jika kang Yoto mau melakukan. Peluang tersebut adalah merebut ketua umum PAN dalam Kongres sekitar awal tahun 2015.
Sosok kang Yoto sangat tepat untuk memimpin sebuah partai yang kini dipimpin Hatta Rajasa setelah kalah dalam Pilpres kemarin yang menempatkan sebagai calon wakil presiden. Sebagai simbol partai, Hatta Rajasa kurang menarik lagi untuk masa depan partai karena sudah bukan masanya lagi untuk memimpin partai, dan tidak memiliki gebrakan yang menarik bagi partainya setelah menjadi besan SBY dan sekaligus menjadi menterinya.
Partai PAN membutuhkan simbol kepemimpinan yang fresh untuk menaikkan elektabilitas serta membutuhkan pemimpin yang memiliki ide segar bagi perkembangan partai, dan hal tersebut ada pada sosok kang Yoto. Tidak banyak yang kita ketahui pimpinan teras PAN yang terbukti memiliki ide sebrilian kang Yoto dalam kepemimpinan semisal membuka peluang rakyat bertemu langsung dengan pemimpinnya dengan digelar dialog jum’at.
Rakyat dalam dialog jum’at dibebaskan mengeluarkan pendapat, menyampaikan masukan, mengkritik bahkan menghujat kebijakan pemerintah di depan kang Yoto sendiri. Dialog jum’at diakui berbagai pihak sebagai bentuk pemerintahan yang transparansi tanpa jarak dan perwakilan dengan rakyat langsung bahkan mungkin satu-satunya bupati yang tetap konsisten menggelar pertemuan dengan rakyatnya selama dua periode atau tujuh tahun.
Dan peluang itu ada pada saat ini, karena menurut Dr. Ari Junaedi yang juga berpengalaman menjadi konsultan politik di berbagai daerah di Indonesia, saat inilah masa bangkitnya pemimpin lokal di pentas nasional setelah keberhasilan Jokowi-Ahok menguasai ibukota, dan dilanjutkan Jokowi berhasil menjadi presiden terpilih. Dr. Ari Junaedi juga menambahkan bahwa peluang ini menjadi lengkap milik kang Yoto karena juga memiliki rekam jejak bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme serta sudah teruji dalam kepemimpinan lokal maka layak dinominasikan menjadi Ketua Umum PAN. “disinilah nilai lebih dari Suyoto Bupati Bojonegoro yang mendunia,” ujar Dr. Ari Junaedi meyakinkan dalam sebuah diskusi kecil dengan saya.
Pandangan tersebut tentu tidak main-main saat diucapkan oleh seorang ahli komunikasi politik yang sering diminta menjadi narasumber di berbagai stasiun televisi nasional dan punya pengalaman yang panjang dalam menganalisis jagat perpolitikan nasional. Saya semula tidak yakin dengan pendapat dosen pasca sarjana tersebut dan dosen tamu di berbagai universitas di Indonesia dan dosen tamu di universitas luar negeri itu, namun setelah saya cros cek antara Dr. Ari Junaedi dan kang Yoto tidak memiliki kedekatan secara pribadi, artinya pendapatnya murni dari seorang akademisi yang ilmiah.
Saya pun mulai tergelitik dengan pendapat tersebut dan meraba-raba rekam jejak kang Yoto di PAN, memang secara jenjang kepartaian beliau sudah saatnya masuk ke DPP setelah cukup berhasil memimpin DPW Jawa Timur. Namun yang menjadi pertanyaan, sampai seberapa jauh Kang Yoto memiliki jaringan internal PAN ? Bagaimana komunikasinya dengan DPW-DPW lainnya untuk merebut pucuk pimpinan ? Sudahkah kang Yoto membangun gerakan ? Sampai saat ini saya belum memiliki jawaban tentang soal tersebut namun jika hal tersebut dimulai sekarang maka pada awal tahun depan nama kang Yoto akan disebut-sebut dan dalam Kongres nanti gaungnya pun membesar dan menyatu, maka merebut pucuk pimpinan partai akan semakin menarik sembari menyelesaikan tugas sebagai Bupati daripada melompat menjadi menteri yang peluangnya cukup tipis.
*Pimred JTV Bojonegoro Dan Penyair
#Trending
-
SeputarBojonegoro.com - Afif Fuad H. Bojonegoro - Sudah tidak dipungkiri keinginan masyarakat Desa Kadungrejo Kecamatan Baureno memiliki ja...
-
Reporter : Bima Rahmat suarabojonegoro.com - Siang hari ini Kecamatn sugihwaras di gegerkan dengan bermunculnya Hantu Pocong yang san...
-
1. SAMSUL ARIF Samsul Arif Munip (lahir di Desa Mojodelik, Kecamatan Ngasem, Bojonegoro, Jawa Timur, Indonesia, 14 Januari 1985; umu...
-
Oleh : Bang Doel SeputarBojonegoro.com - Pragelan, sebuah desa yang terletak di paling ujung barat kecamatan Gondang, desa yan...
-
SuaraBojonegoro -Kerambit lahir di negeri ini. Itu artinya Kerambit adalah salah satu senjata warisan budaya. Namun sayang jenis senjata ...