13 November 2014

Berawal Dari Puisi Cinta

    Kamis, November 13, 2014  

Hidup adalah pilihan. Dan memilih jadi penulis juga pilihan hidup. Maka sebagai penulis, menjadi wartawan adalah salah satunya. Awalnya memang bukan menulis berita ke surat kabar, tapi menulis puisi, esay dan cerpen. Itu pun dilakukan setelah tulisan yang saya coba-coba teruji, misalnya dengan ikut lomba mengarang. Seorang teaman, Munir Umar namanya,m yang baru kenal beberapa hari membawa suratkabar Kompas ke kost kami. Saya hanya membaca, tapi kurang pas, meski saya menarik membacanya, terutama Kompas Minggu. Soalnya bukan apa apa, di kolom Opini bahasanya berat. Beberapa tulisan saya yang belum saya publish agaknya jauh dari standard Kompas.

Maka saya mengirim tulisan tersebut, atas saran Munir, ke koran lokal. Tulisan pertama mengenai esay sastra. Wah, anehnya tulisan tersebut masuk dalam pusaran polemik dua penulis senior. Di satu sisi saya jadi kecut karena saya jauh dari kemampuan mereka. Tapi di lain pihak saya mulai dibicarakan di kalangan seniman. Mereka ingin tahu mana penulis pendatang baru yang berani beraninya “berdebat” dengan para dedengkot dalam soal sastra.

Sebulan kemudian, ketika komunitas sastra mengadakan Malam Puisi Khairil Anwar, April 1976, di Banda Aceh, saya diundang ke acara tersebut. Malu malu, memang. Anak bawang di tengah gegap gempita pada penggaw sasatra. Tapi Munirlah yang membisikkan panitia agar protokol memanggil saya membaca puisi di atas pentas.

Untung dalam kantong celana, saya semoat menyelipkan puisi bertulisan tangan. Ada bau bau cinta, tentu sesuai dengan umur yang sangat remaja. Mahasiswa semester pertama. Tentu yang lahir puisi cinta. Bak seekor pipit di tengah kawanan bangau saya membaca puisinya (yang mebuat saya eger) dengan tepuk tangan dan salam. Entah sungguh-sungguh atau basa basi untuk “pendatang baru”!

SEPI
sepi itu bocah kecil tak berbaju
sepi itu roda pedati lembu tua
sepi itu air yang menguak batu
sepi itu selimut bulan madu
sepi itu kau tanpa aku.

Kemudian oleh salah satu komunitas sastra puisi itu dimuat dalam sebuah antologi, hampir dua tahun setelah saya membacanya. Saya mulai mendapat ” pengakuan” karena diikuti okeh berbagai undangan untuk baca pusi, Di acara acara yang dilaksanakan di kampus Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, kesempatan baca puisi tetap diberikan kepada saya.

Dan saya mulai berani mengirim tulisan tulisan ke media di luar daerah saya tinggal. Suratkabar Kampus UI “Salemba” ikut memberi kesempatan kepada saya. Lalu dunia tulis menulis pun saya akabri sampai sekarang. Saya berpikir bahwa menjadi wartawan dan penulis bukan pekerjaan yang sia sia, asalkan dilakoni dengan baik, jujur, ikhlas, dan sungguh-sungguh. Setelah menjadi koresponden dan wartawan di beberapa media, pada tahun 1989, saya bergabung dengan sebuah penerbitan di bawah bendera Kompas Gamedia. Di sini saya menumpahkan berbagai jurus penulisan dalam koridor yang tidak bertentangan jurnalistik.

Berbagai palatihan pendidikan jurnalistik saya ikuti, di tengah tengah keasyikan saya sebagai aktivis di ormas pemuda, bahkan jajaran pimpinan sebuah partai politik nasional yang mapan. Dan jika kemudian dalam kapasitas daya sebagai wartawn saya memperoleh berbagai sertifikat, seperti. “30 tahun kesetiaan profesi” atau press card nomor one, itu adalah buah kesungguhan dan keyakinan atas karunia Tuhan kepada kita. Jangan sia-siakan, meski berawal dari sebuah puisi cinta.



Sumber: http://fiksi.kompasiana.com/prosa/2014/11/13/berawal-dari-puisi-cinta-691307.html
Gambar: Ilustrasi

© 2018 SeputarBojonegoro.comDesigned by Bloggertheme9