Oleh : Ahmad Syahid (Aktivis PMII Bojonegoro)
Pelayanan publik merupakan hak dasar yang harus dipenuhi setiap badan publik terhadap masyarakat, baik yang mengakses informasi itu bersifat personal maupun kelembagaan. Dalam perjalanannya, setiap informasi mengalami posisi yang urgen untuk diakses setiap elemen masyarakat, apalagi pelayanannya dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai pejabat negara yang notabenya digaji oleh rakyat. Jadi paling tidak setiap Pemerintahan/Instansi harus berstandar pada (Standard Operating Procedured) SOP masing-masing instansi sebagai acuan tertinggi dalam melayani masyarakat sipil.
Secara historis perjalanan legislasi pelayanan informasi publik di Indonesia memakan waktu yang cukup panjang. Dimulai pada tahun 2000 oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil yang membentuk koalisi untuk kebebasan memperoleh informasi publik. Untuk selanjutnya dibutuhkan rentang waktu 8 tahun bagi Indonesia untuk pengesahannya, dan jika UU akan efektif 2 tahun kemudian, berarti secara tidak langsung diperlukan waktu selama 10 tahun untuk mengefektifkan jaminan kebebasan informasi di Indonesia bagi seluruh elemen masyarakat sipil.
Perumusan Undang-undang ini menggunakan hak inisiatif DPR serta pemeranan fungsinya sebagai legislator. Dan akhirnya pada bulan April 2008, RUU ini disahkan menjadi Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik yang kemudian menjadi angin segar bagi masyarakat luas atas hak dasarnya untuk dipenuhi oleh pemerintah dalam hal memperoleh segala informasi kecuali yang terkecualikan. Selanjutnya Undang-undang ini memandatkan agar dibentuknya Komisi Informasi (KI) Pusat paling lama sejak 1 tahun diundangkan, dan Komisi Informasi (KI) Daerah pada tahun ke dua paling lambat 2 tahun setelah diundangkan dan bisa dibentuk pula di setiap Kabupaten/Kota jika diperlukan.
Secara konstitusi hukum, Keterbukaan Informasi Publik (KIP) memiliki pijakan yang kuat, yaitu berlandaskan Undang-undang RI No. 14 Tahun 2008, Peraturan Pemerintah RI No.61 Tahun 2010, Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2010 dan dikuatkan lagi oleh Perbup PPID No. 40 Tahun 2014 (Himpunan peraturan perundang-undangan keterbukaan informasi publik di Kabupaten Bojonegoro).
Dalam undang-undang tersebut, dijelaskan bahwasanya informasi merupakan kebutuhan pokok dan bagian dari hak asasi manusia serta keterbukaan informasi publik menjadi tolok ukur negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat guna mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, karena berbasis partisipatif masyarakat.
Tujuan Undang-undang KIP ini dijelaskan dalam pasal 3, yaitu: 1) Untuk menjamin hak warga negara mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, proses pengambilan keputusan publik dan alasan pengambilan suatu keputusan publik, 2) Untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik , 3) Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaanya yang baik serta menghasilkan informasi yang berkualitas.
Realita keterbukaan informasi publik di Bojonegoro masih mengalami berbagai persoalan. Bahkan ketika ada masyarakat sipil yang memohon informasi dengan perseorangan dipersulit dan mendapat tanggapan yang apatis dari pejabat pelayan publik. Ini seakan menjadi pemandangan yang sudah biasa bahwasanya pejabat publik belum bisa mengimplemantasikan amanat konstitusi tentang keterbukaan informasi publik. Karena seharusnya disetiap SKPD maupun pejabat pelayanan publik di lingkungan kabupaten atau daerah sudah memiliki PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi).
Dibalik itu dalam berbagai sambutan Bupati Bojonegoro maupun jajaran pemerintahan Kabupaten, terutama Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Utama yang seringkali mengatakan secara langsung bahwasanya Bojonegoro sudah tidak lagi transparan, melainkan sudah telanjang. Bahkan di ajang PPID awards yang diselenggarakan oleh PPID Jatim, mengeklaim juara 3 terbaik se jawa Timur. Lantas apakah ini hanya persoalan formalitas belaka? Padahal konstitusi ini dibuat untuk hajat hidup masyarakat sipil agar terlindungi hak asasinya dalam mengetahui informasi publik.
Hal ini yang kemudian perlu kita kontrol bersama, bahwasanya di Kabupaten Bojonegoro masih belum transparan sesuai UU KIP da Perbup KIP di Bojonegoro. Banyak SKPD yang masih mempersulit pemohon informasi, padahal itu adalah hak dasar warga sipil untuk memperolehnya dan sudah menjadi kewajiban pejabat publik untuk melayani dengan cepat dan tepat. Mereka (baca:pejabat publik) seharusnya sadar betul, bahwasanya mereka adalah pelayan masyarakat (baca: rakyat), mereka digaji melalui uang rakyat pula. Sehingga perlu dibangun hukum supply and demand yang selaras dan seimbang, agar tercipta tatanan masyarakat sipil madani yang efektif dan efisien.
Sangat erat kaitanya antara masyarakat dan pejabat publik apabila menginginkan terjadinya transparansi secara nyata dan berbasis partisipasi aktif dari masyarakat. Sebenarnya desainan masyarakat lewat media center, dialog jumat Bupati dan yang lainya sama halnya dengan prinsip membangun community center. Yang secara hirarki piramidanya masyarakat berada di posisi yang teratas.
Besar harapan penulis, agar ini dijadikan sebagai evaluasi pejabat publik yang masih bandel untuk melaksanakan tugas dan kewajibanya sebagai pelayan masyarakat. Setidaknya ini bisa dibaca oleh mereka yang menganggapnya remeh. Sekiranya kamipun dari aktivis mahasiswa sering terkecewakan oleh kinerja para pejabat publik. Seringkali diajak dialog dan diskusi interaktif yang tidak hadir, bahkan banya pula SKPD yang ketika disurati tanpa ada respon maupun balasan. Apalagi kalangan masyarakat bawah (grass root) yang meminta informasi tersebut.
Semoga ini bisa menjadi catatan kecil untuk perbaikan kabupaten Bojonegoro kedepanya. Agar senantiasa pejabat publik berbicara sesuai kinerja tanpa mengada-ada yang terkesan hanya semangat formalitas belaka tanpa didasari tanggung jawab besar dalam kinerjanya. Spirit yang dibangun harus berdasarkan asaz bahwasanya informasi adalah hak semua warga negara yang tersirat dalam 4 pilar negara Indonesia.