suarabojonegoro.com - Meskipun masih berdiri kokoh, namun karat tebal menyelimuti rangka jembatan kali ketek yang terbuat dari besi baja,itulah kondisi bangunan yang menjadi saksi bisu di era peperangan melawan kolonial belanda yang ada di kota minyak .
Pada masa penjajahan kolonial belanda tepatnya pada tahun 1914, belanda yang ada di kota minyak ini membangun jembatan dengan panjang 111 meter, Hal tersebut dimaksudkan untuk memudahkan belanda untuk mengangkut rempah rempah dari Bojonegoro untuk dibawa pulang ke Belanda dengan mengunakan alat transportasi kereta api dari stasiun Bojonegoro ke stasiun Jatirogo Kabupaten Tuban, lalu menggangkutnya dengan mengunakan Kapal Laut.
Bukan hanya itu, Belanda juga membangun jembatan yang terbuat dari kayu jati untuk dilintasi roda empat dan pejalan kaki tepat di sebalah kiri jembatan yang saat ini masih bisa dilihat.
Sementara itu, melihat sejarah perang kemerdekaan Republik Indonesia (RI) pada tahun 1945 -1949. Jembatan kali ketek menjadi saksi bisu peperangan dengan kolonial Belanda yang saat itu tentara Belanda bermarkas di Kepatihan dan sekarang ini menjadi Jl. Hayam wuruk , tepat disebelah barat gereja Pantekosta.
Menurut Waras (71) warga Desa Banjarejo Rt 19 Kecamatan Kota Bojonegoro, dirinya mengaku menjadi saksi tragedi peperangan tentara RI dan tentara belanda yang dilakukan jembatan.
“Jembatan besi tersebut menjadi area peperangan antara tentara RI dan tentara Belanda, pada waktu itu,” terang pria yang seharinya berprofesi sebagai pandai besi.
Bukan hanya itu, jembatan yang dibangun sebagai jalur penyebrangan Desa Banjarjo kecamatan kota dan Desa Banjarsari kecamatan trucuk itu sempat dihancurkan dengan meledakan bom tepat dipertengahan jembatan. Hal tersebut dilakukan belanda sendiri, setelah tentara belanda mendengar ada tentara Jepang yang ingin masuk ke Bojonegoro tepatnya pada tahun 1943.
“Pada pada masa itu tentara belanda yang meledakan bom tepat di bagian tengah jembatan untuk menghalangi tentaran jepang agar tidak masuk kewilayah Bojonegoro.” lanjutnya sambil mengenang dan mengingat peristiwa tersebut.
Namun usaha belanda gagal dalam menghalau tentara Jepang agar tidak masuk ke Bojonegoro , sebab tentara jepang masuk di wilayah Bojonegoro tidak melalui jembatan kali ketek, melainkan masuk dari Gelendeng, atau Desa Kalirejo, yaitu perbatasan Bojonegoro Tuban melalui Kecamatan Soko, Tuban.
Mendengar tentara jepang berhasil masuk Ke Bojonegoro , perlahan lahan tentara belanda mundur dengan sendirinya, Hal itu membuat jumlah tentara belanda yang ada di Bojonegoro sedikit.
“Jadi pemutusan jembatan yang dilakukan oleh Belanda sia sia, sebab tentara Jepang masuk melalui Gelendeng yang pada waktu itu sudah ada jembatan yang di buat dari kayu randu,” jelasnya.
Setelah tentara Jepang berhasil menduduki wilayah Bojonegoro dan pada 14-15 Agustus 1945 dua kota besar yang ada di Jepang antara lain Hirosima dan Nagasaki diluluh lantahkan oleh tentara Amerika Serikat dengan mengunakan bom atom sehingga mengakibatkan kekosongan pemimpin (vacum of power).
Hal tersebut membuat tentara Jepang yang ada di indosnesia pulang ke negerinya sendiri, mendengar hal tersebut tentara belanda kembali ke Bojonegoro dan ingin menduduki kota minyak ini.
Namum tentara Indonesia yang tergabung dalam pasukan tentara genie pelajar (TGP) melawan tentara belanda dengan bekal strategi perang yang di pelajari dari tentara Jepang .
Sementara itu Munir (69) warga Desa Banjarsari Kecamatan Trucuk yang juga menjadi saksi bersejarah tersebut menjelaskan bahwa, pada Tanggal 23 Desember 1948 jembatan kali ketek kembali di hancurkan oleh yang dilakukan oleh tentara TGP dengan beberapa buah bom, tapi tidak seperti ledakan bom yang dilakukan oleh tentara Belanda sendiri.
“ kita sekarang ini masih bisa lihat dari bentuk pondasi dan tiang jembatan yang tidak sama,” Terangnya.
Dalam peledakan bom yang di letakkan di tiang jembatan bagian tengah dengan tujuan untuk memutuskan jembatan kali ketek yang dilakukan oleh beberapa tentara TGP antaranya, Djoko Basuki, Djoko Mulyono, Djoko Sarwo Suwanto dan Sutiarjo .
Seiring dengan berjalannya waktu dangan di bangunnya jalur kereta api lintas utara jawa,dan pada tahun 1998 jembatan tersebut sudah tidak lagi difungsikan oleh PT KAI berbarbarengan dengan dihentikannya oprasional kereta api jurusan jatirogo Bojonegoro.
Melihat sejarah jembatan kali ketek yang menjadi area peperangan tentunya tidak heran jika jembatan tersebut masih dikenang oleh masyarakat, sehingga tidak heran jika jembatan tersebut menjadi cagar budaya milik Bojonegoro.
Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata (Disbudpar) Bojonegoro, melalui kasi pelestarian budaya tradisional Supriadi saat dikonfirmasi terkait pegukuhan jembatan kali ketek menjadi cagar budaya pihaknya menjelaskan bahwa, pihaknya sekarang ini masih menggodok tahap tahap pengukuhannya salah satunya dengan dilakukan observasi dengan mendatangkan tim ahli.
“Kami sudah melakukan tahapn pengukuhan kali ketek sebagai cagar budaya, ” terang supardi saat di temui di kantornya.
Tak berhenti disitu saja jembatan kali ketek yang menjadi bukti bersejarah peperangan melawan Belanda, hingga sat ini masih di kenang oleh masyarakat, terbukti tidak sedikit orang yang sekedar melepas penat untuk melihat pesona keindahan Begawan Solo dan melihat bagunan bersejarah tersebut. (Redaksi)
Foto: kimderumaju