Reporter: Rabbani. P
suarabojonegoro.com - Adalah sebuah batu yang berada di puncak Bukit Atas Angin, letaknya berada di Desa Deling, Kecamatan Sekar Bojonegoro. Warga setempat menyebutnya Watu Jogo, yang bila diterjemahkan secara bebas berarti Batu Jaga. “Watu Jogo adalah salah satu situs yang ada di situ,” ujar Harinto, salah satu anggota konsorsium 6 Kades di Kecamatan Sekar.
Sedikit cerita dari pria yang juga menjabat sebagai Kepala Desa Bobol, Sekar itu adalah mengenai kisah fungsi dan hal-hal di luar nalar seputar batu tersebut. “Masih ada hubungannya dengan Raden Sujono Poro,” tambahnya. Yakni saat menjelang agresi militer Belanda. Kala itu, Desa Deling sedang dilanda kemarau hebat, Raden Sujono Poro memilih untuk melakukan semedi dengan ditemani oleh seorang pengawalnya.
“Tugas pengawalnya adalah menjaga persemedian Raden Sujono Poro, dengan memilih sebuah batu yang dapat melihat ke segala penjuru sebagai tempat penjagaannya,” tambahnya.
Ratusan tahun sebelumnya, adalah Raden Atas Aji bersama pasangannya yang juga pernah mengungsi ke tempat persemedian Raden Jono Poro, yakni saat berkecamuk perang antara Kerajaan Mataram dengan Kerajaan Pajang. “Pengungsian itu hingga mereka tewas, konon mereka berdua meninggalkan pesan yang hanya bisa didengar melalui persemedian. Pesan itu kekal melalui suara angin yang ada di sekitar tempat persemedian,” tambahnya.
Dikisahkan, dalam persemediannya, Raden Sujono Poro mendengar beberapa suara. Salah satunya adalah mengenai perdamaian antara masyarakat Sekar dengan Madiun, yang suatu saat akan tercapai dengan beberapa syarat, diantaranya adalah datangnya seorang putri baik hati dari Madiun ke Desa Deling.
Adalah Dewi Sri Mulia Asih, seorang gadis cantik yang menyukai bunga kemudian tiba di sekutar Watu Jogo. Dewi Sri Mulia Asih yang melihat bunga-bunga flamboyan mulai berguguran berniat untuk menyiramkan air ke pohon-pohon tersebut.
“Oleh si penjaga, Dewi Sri Mulia Asih disuruh menunggu di bagisn lain bukit itu. Lalu si penjaga menemui Raden Sujono Poro untuk melaporkan hal itu,” lanjutnya.
Raden Jono Poro kemudian meminta agar Dewi Sri Mulia Asih menunggu persemediannya. Lalu dibuatlah sebuah saluran yang mengalirkan airnya melalui lobang dan tembus ke wilayah petbukitan. Airnya membasahi perbukitan dan membuat seluruh tanaman menjadi segar, bahkan karena banyak terkena air dari sendang tersebut, wajah lelah berubah menjadi segar bugar.
Setelah persemediannya usai, mereka bertemu dan saling jatuh cinta. Tersebarlah kabar ini hingga ke Madiun, disusul dengan kedatangan mereka ke wilayah Atas Angin. Raden Sujono Poro dan Dewi Sri Mulia Asih menyambut kedatangan orang-orang Madiun yang marah itu dengan ramah.
Keramahan dan kemesraan mereka berdua yang ditambah dengan pemandangan indah itulah yang meluluhkan hati orang-orang Madiun. “Artinya, itu adalah tempat yang tepat untuk mencari keramahan, cinta, kesejukan hati dan wajah berseri-seri. Karena pada masa itu, dataran tinggi merupakan tempat yang paling mendamaikan hati,” pungkasnya