30 Mei 2017

Tauziyah Ramadhan: Aktualisasi Nilai Nilai Shalat

    Selasa, Mei 30, 2017  

Tauziyah Ramadhan Hari ke 4

Salah satu hadiah Rasulullah SAW di dalam perjalan isra dan mi’rajnya adalah shalat lima waktu. Hal tersebut diertegas oleh Rasulullah di dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan, antara lain, al-Iman Muslim yang berbunyi:
“Dari Murra, dari Abdullah beliau berkata bahwa ketika rasulullah diisra’kan oleh Allah beliau tertahan (hanya bisa sampai) di Sidratil Muntaha… maka (pada saat itu) beliau dianugerahkan 3 hal; shalat lima waktu, ayat-ayat terakhir al-Baqarah, dan ampunan bagi orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu”.
Di dalam Alquran ditemukan sejumlah ayat yang memerintahkan pelaksanaan shalat . ayat –ayat tersebut pada umumnya diawali dengan kata terambil dari kata yang berarti berdiri, padahal tidak demikian. Para ulama berbeda pendapat tentang makna asal kata tersebut. Ada yang berpendapat ia terambil dari kata yang digambarkan tertancapnya tiang sehingga ia tegak lurus dan mantap. Ada juga yang mengatakan bahwa ia terambil dari kata yang melukiskan pelaksanaan sesuatu dengan giat dan benar. Betapapun beraneka pendapat tentang asal maknanya, tetapi tidak ditemukan seorang ulama pun yang memahaminya dalam arti berdiri atau mendirikan. Bahkan, kitab tafsir yang paling singkat dan sederhana pun, al-jalalin, menjelaskan kata dengan melaksanakan shalat berdasarkan hak-haknya, yakni dengan khusyuk sesuai syarat, rukun, dan sunnahnya, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW.


Hanya saja, jika kita mencoba mengkaji istilah khusyuk baik di dalam alquran maupun dalam hadis-hadis rasullah SAW, tidak dikemukakan penjelesan makna kata tersebut. Bahkan penjelasan khusyuk di dalam shalat juga tidak ditemukan di dalam kitab-kitab fikih yang telah ditulis oleh para fuqaha. Padahal, kita tentu sepakat bahwa shalat yang dinilai dan diterima oleh Allah adalah Shalat yang khusyuk.

Khusyuk sebagai dikemukakan oleh ahli tasawwuf, tidak lain kecuali dzikir di dalam shalat. Sebab tidak bernilai apa apa kecuali dzikir, seperti firman Allah SWT dalam QS. Thaha 20:14:

إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي

Yang Artinya:

Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikianlah shalat untuk mengingat aku.

Ayat diatas dengan jelas menyebutkan bahwa tujuan shalat sebenarnya hanyalah untuk mengingat atau dzikir kepada Allah SWT. Kata Dzikir dari segi bahasa berarti menyebut atau mengingat. Atas dasar ini, para agamawan memperkenalkan dua macam dzikir, yaitu dengan lidah / bi al-lisan dan dengan hati / bi al-qalb. Disamping itu, dzikir juga mempunyai dua sisi, sisi pasif san sisi aktif. Yang pertama berfungsi mengosongkan hati dari segala yang menggundahkannya, dan yang kedua menghiasi jiwa dengan kehadiran Allah SWT.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa orang yang melaksanakan shalat dengan khusyuk, yaitu dengan dzikir, interaktualisasi didalam dirinya hati yang tenang, pikiran yang cerah, positif thingking. Dan berlapang dada. Ingatannya kepada Allah menjadikan ia terhindar dari dengki, kikir, riya, angkuh dan berkesinambungan. Betapa tidak, bukankah ia hidup bersama allah, merasa kuat dengan-Nya sambil menyerahkan diri kepada-Nya setelah melakukan segala upaya.

Inilah antara lain kandungan janji Allah dalam QS Al-Rad 13:28:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

Yang Artinya:

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan Allah-Lah hati menjadi tenteram.

Hati yang damai, tenteram dan berbagai sifat yang baik tentu akan mencerminkan dalam kehidupan pribadi seorang mushalli yang khusyuk. Mereka tidak akan melakukan sesuatu aktifitas yang melanggar syariat karena hatinya selalu berdzikir kepada Allah. Sebaliknya, orang melaksanakan shalat hanya untuk melepaskan kewajiban dan bukan sebagai kebutuhan rohaniah, maka nilai shalatnya akan minim dan mungkin bahwa tidak bernilai apa-apa di sisi Allah. Itulah, antara lain dari diri Allah mengingatkan kepada kita untuk senantiasa menjaga shalat dan jangan bersifat lalai didalam melaksanakannya. Hal tersebut dipertegas oleh Allah di dalam QS Al-Maa’un 107:1-5:

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ

فَذَٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ

وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ

الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

Yang Artinya:

Maka kecelakaan bagi orang-orang yang shalat, (Yaitu) orang orang yang lalai dari shalatnya.

Menurut al-Imam al-Qurthubi di dalam tafsirnya al-Jami li Ahkam al-Quran menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kata sahun lalai adalah:

Tidak ada rasa penyesalan dan rasa takut ketika ia meninggalkan shalat;Tidak shalat tepat waktu;Tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya.

Ketiga kriteria yang dikemukakan diatas memang sangat memungkinkan seseorang untuk tidak khusyuk di dalam shalat . orang yang shalat pada akhir waktu umpamanya, akan selalu terburu-buru bagaikan orang dikejar. Itulah sebabnya Rasul SAW menganjurkan untuk shalat pada awal waktu karena juga akan berpengaruh terhadap penyempurnaan ruku dan sujud seseorang.

Ada dua perintah Allah yang sering disebutkan secara bergandengan, yaitu perintah untuk menegakkan shalat dan perintah untuk mengeluarkan zakat. Perintah pertama lebih menekankan hubungan kepada Allah, sedangkan yang kedua lebih menekankan hubungan kepada sesama manusia. Akan tetapi, tidak berarti kedua perintah tersebut hanya memiliki satu bentuk hubungan. Shalat tidak berarti jika hasilnya hanya akan melepaskan kewajiban kepada Allah. Shalat itu dianggap berarti jika dapat berpengaruh di dalam pergaulan kepada sesama manusia. Ini juga dapat berarti bahwa shalat memiliki dimensi sosial. Seseorang yang melakukan kedzaliman begitu pula mereka yang tidak peduli kepada orang-orang yang ada disekitar mereka dapat disebutkan bahwa nilai-nilai shalatnya belum teraktualisasi di dalam kehidupan mereka.

Apa yang digambarkan diatas tampaknya menunjukkan bahwa dzikir di dalam shalat yang merupakan inti kekhusyukan sangat susah untuk dilakukan. Tetapi hal itu tidak berarti tidak bisa dilakukan. Olehnya itu, menurut CeramahPidato.Com, untuk mendapatkan kekhusyukan di dalam shalat, salah satu cara yang harus ditempuh adalah dengan membiasakan diri melaksanakannya. Mungkin pada awalnya masih susah untuk khusyuk, tetapi jika dilakukan secara berkelanjutan maka dengan sendirinya akan muncul. Inilah mungkin salah satu rahasia mengapa Rasullullah SAW menganjurkan kepada orang tua untuk mengajarkan shalat kepada anak-anaknya sejak dini.

Yang jelas bahwa kita shalat harus dikerjakan sebagai washillah kepada Allah SWT apabila washillah tersebut terputus maka hubungan kepada Allah menjadi terputus. Apabila hal tersebut terjadi maka sangat memungkinkan hubungan sosial kepada sesama manusia juga terputus karena orang seperti ini tidak mendapat hidayah dari Allah SWT. Untuk mendapatkan hidayah darinya, jalan yang paling ampuh adalah melalui media shalat, karena didalamnya diajarkan bagaimana memaksimalkan ingatan kepada-Nya. Dan selanjutnya orang yang banyak mengingat Allah tentu dengan sendirinya selalu terhindar dari perbuatan yang fakhsya’ dan mungkar, baik kepada Allah juga kepada sesama manusia, bahkan kepada mahluk Allah yang lain.[cp]

Sumber : http://www.ceramahpidato.com/aktualisasi-nilai-nilai-shalat.html

© 2018 SeputarBojonegoro.comDesigned by Bloggertheme9