Oleh : Joyo Juwoto*
Dedalane Guna Lawan Sekti
Kudu Andap Asor
Wani Ngalah Luhur Wekasane
Tumungkulo Yen Dipun Dukani
Bapang Den Simpangi
Ana Catur Mungkur
(Tembang Mijil)
suarabojonegoro.com - Tembang di atas adalah salah satu wujud kearifan budaya lokal masyarakat Jawa yang adiluhung. Menurut riwayat tembang Mijil ini diciptakan oleh Walisongo dalam rangka untuk berdakwah kepada masyarakat Jawa dengan pendekatan sosiokultural. Tidak heran jika dakwah walisongo diterima dengan baik oleh masyarakat kala itu, karena dakwah yang dilakukan dengan penuh hikmah dan teladan yang baik. Merangkul bukan memukul, mengajak bukan menginjak, dan dengan penuh kelembutan dan akhlaq yang baik tentunya.
Selain enak ditembangkan, tembang Mijil ini juga memiliki banyak hikmah dan pelajaran yang bisa kita petik untuk kehidupan kita sehari-hari, agar kehidupan yang kita jalani di tengah-tengah masyarakat penuh manfaat dan keberkahan baik secara lahir maupun batin.
Tembang Mijil di atas hakekatnya mengajarkan banyak kearifan dalam menyelesaikan berbagai macam konflik dan problematika kehidupan. Namun sayang di era sekarang, generasi kita sudah enggan mempelajari tembang-tembang warisan budaya nenek moyang, sehingga tidak aneh jika generasi anak muda hari ini, jarang sekali yang mampu menggali dan menafsirkan makna dari tembang tersebut di atas.
Berikut akan saya kupas sedikit mengenai isi dari tembang Mijil. Tembang ini dibuka dengan kalimat, Dedalane Guna Lawan Sekti, maknanya tujuan dari manusia menjalani kehidupan adalah dalam rangka berguna dan bermanfaat, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain maka hendaknya kita bersikap Kudu Andap Asor. Sikap andap asor, memiliki arti, seorang itu harus bisa menempatkan diri, bisa menghargai orang lain, dan tidak sombong, serta menempatkan orang lain lebih tinggi dari dirinya sendiri.
Selain bisa ber-andap asor dengan orang lain, seseorang juga harus berani mengalahkan ego dan nafsunya sendiri dengan cara berani mengalah. Wani Ngalah Luhur Wekasane. Dalam konsep tembang mijil ini, siapa yang berani mengalah diakhirnya akan mendapatkan kemuliaan. Untuk menjadi mulai biasanya seseorang itu dituntut untuk menjadi pemenang, namun di sini kita dituntut untuk berani mengalah. Terminologi mengalah, menurut KH. Agus Sunyoto berasal dari kata ngAllah, yang berarti menuju Allah. Lebih lanjut beliau menjelaskan dalam bukunya Atlas Walisongo, kata mengalah itu bukan asli kosakata Jawa, tidak ada dalam bahasa kawi itu kata “kalah” kata ngalah atau “ngallah” sendiri diciptakan oleh para wali yang berarti menuju Allah. Semisal kata “Ngalas” maksudnya adalah menuju hutan, oleh karena itu untuk menanggulangi sifat tinggi hati dan suka menang-menangannya masyarakat Jawa, para wali membuat satu kata “Ngalah” sebagai wujud kearifan dan kebesaran jiwa untuk berani mengalah agar tercipta keharmonisan di dalam tata perikehidupan masyarakat.
Di bait keempat dikatakan, Tumungkula Yen Dipun Dukani. Maksudnya jika kita dimarahi maka hendaknya kita diam. Diam di sini tidak bermakna pasif dan membiarkan masalah tanpa klarifikasi, namun diam di sini bermakna agar kita tidak gegabah dalam menanggapi sebuah kemarahan. Atau jika kita sendiri yang marah hendaknya kita heningkan diri terlebih dahulu untuk mencari solusi atas permasalahan yang kita hadapi. Lebih baik diam pada saat marah agar permasalahan tidak semakin runyam.
Selanjutnya agar kehidupan seorang tidak terbelit banyak masalah khususnya dalam segi finansial, maka hendaknya mengamalkan ajaran Bapang Den Simpangi, maksudnya adalah seseorang itu hendaknya meninggalkan gaya hidup hura-hura. Sikap hura-hura adalah pangkal dari berbagai macam permasalahan hidup, kadang kita lebih suka mengedepankan keinginan daripada kebutuhan. Padahal sampai kapanpun yang namanya keinginan tidak akan ada habisnya. Oleh karena itu hendaknya kita bisa berqona’ah agar hidup kita penuh berkah. Mensyukuri atas segala nikmat Tuhan, dan tidak serakah dan berlebihan. (JW)
Foto: Ilustrasi
Dedalane Guna Lawan Sekti
Kudu Andap Asor
Wani Ngalah Luhur Wekasane
Tumungkulo Yen Dipun Dukani
Bapang Den Simpangi
Ana Catur Mungkur
(Tembang Mijil)
suarabojonegoro.com - Tembang di atas adalah salah satu wujud kearifan budaya lokal masyarakat Jawa yang adiluhung. Menurut riwayat tembang Mijil ini diciptakan oleh Walisongo dalam rangka untuk berdakwah kepada masyarakat Jawa dengan pendekatan sosiokultural. Tidak heran jika dakwah walisongo diterima dengan baik oleh masyarakat kala itu, karena dakwah yang dilakukan dengan penuh hikmah dan teladan yang baik. Merangkul bukan memukul, mengajak bukan menginjak, dan dengan penuh kelembutan dan akhlaq yang baik tentunya.
Selain enak ditembangkan, tembang Mijil ini juga memiliki banyak hikmah dan pelajaran yang bisa kita petik untuk kehidupan kita sehari-hari, agar kehidupan yang kita jalani di tengah-tengah masyarakat penuh manfaat dan keberkahan baik secara lahir maupun batin.
Tembang Mijil di atas hakekatnya mengajarkan banyak kearifan dalam menyelesaikan berbagai macam konflik dan problematika kehidupan. Namun sayang di era sekarang, generasi kita sudah enggan mempelajari tembang-tembang warisan budaya nenek moyang, sehingga tidak aneh jika generasi anak muda hari ini, jarang sekali yang mampu menggali dan menafsirkan makna dari tembang tersebut di atas.
Berikut akan saya kupas sedikit mengenai isi dari tembang Mijil. Tembang ini dibuka dengan kalimat, Dedalane Guna Lawan Sekti, maknanya tujuan dari manusia menjalani kehidupan adalah dalam rangka berguna dan bermanfaat, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain maka hendaknya kita bersikap Kudu Andap Asor. Sikap andap asor, memiliki arti, seorang itu harus bisa menempatkan diri, bisa menghargai orang lain, dan tidak sombong, serta menempatkan orang lain lebih tinggi dari dirinya sendiri.
Selain bisa ber-andap asor dengan orang lain, seseorang juga harus berani mengalahkan ego dan nafsunya sendiri dengan cara berani mengalah. Wani Ngalah Luhur Wekasane. Dalam konsep tembang mijil ini, siapa yang berani mengalah diakhirnya akan mendapatkan kemuliaan. Untuk menjadi mulai biasanya seseorang itu dituntut untuk menjadi pemenang, namun di sini kita dituntut untuk berani mengalah. Terminologi mengalah, menurut KH. Agus Sunyoto berasal dari kata ngAllah, yang berarti menuju Allah. Lebih lanjut beliau menjelaskan dalam bukunya Atlas Walisongo, kata mengalah itu bukan asli kosakata Jawa, tidak ada dalam bahasa kawi itu kata “kalah” kata ngalah atau “ngallah” sendiri diciptakan oleh para wali yang berarti menuju Allah. Semisal kata “Ngalas” maksudnya adalah menuju hutan, oleh karena itu untuk menanggulangi sifat tinggi hati dan suka menang-menangannya masyarakat Jawa, para wali membuat satu kata “Ngalah” sebagai wujud kearifan dan kebesaran jiwa untuk berani mengalah agar tercipta keharmonisan di dalam tata perikehidupan masyarakat.
Di bait keempat dikatakan, Tumungkula Yen Dipun Dukani. Maksudnya jika kita dimarahi maka hendaknya kita diam. Diam di sini tidak bermakna pasif dan membiarkan masalah tanpa klarifikasi, namun diam di sini bermakna agar kita tidak gegabah dalam menanggapi sebuah kemarahan. Atau jika kita sendiri yang marah hendaknya kita heningkan diri terlebih dahulu untuk mencari solusi atas permasalahan yang kita hadapi. Lebih baik diam pada saat marah agar permasalahan tidak semakin runyam.
Selanjutnya agar kehidupan seorang tidak terbelit banyak masalah khususnya dalam segi finansial, maka hendaknya mengamalkan ajaran Bapang Den Simpangi, maksudnya adalah seseorang itu hendaknya meninggalkan gaya hidup hura-hura. Sikap hura-hura adalah pangkal dari berbagai macam permasalahan hidup, kadang kita lebih suka mengedepankan keinginan daripada kebutuhan. Padahal sampai kapanpun yang namanya keinginan tidak akan ada habisnya. Oleh karena itu hendaknya kita bisa berqona’ah agar hidup kita penuh berkah. Mensyukuri atas segala nikmat Tuhan, dan tidak serakah dan berlebihan. (JW)
Foto: Ilustrasi