Reporter: Team Advetorial
Bagi Ngasruroh, menyandang disabilitas bukan menjadi halangan untuk berkarya. Melalui membatik, selain menambah penghasilan juga meningkatkan kreativitas untuk ditularkan kepada keluarga dan sesama penyandang disabilitas lainnya.
suarabojonegoro.com - Di antara desiran angin yang hangat di sore itu, nampak seorang wanita dengan sebuah penyangga kaki (kruk) mulai menata kain katun putih berukuran dua meter di atas sebuah meja khusus di salah satu ruangan rumah yang sangat sederhana.
Setelah kain terpasang rapi, Ngasruroh, warga Dusun Temlokorejo, Desa Gayam, Kecamatan Gayam, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur itu, mulai menyiapkan peralatan membatik.
Keluwesan tangan Ruroh, sapaan akrab perempuan 38 tahun itu, membuat hasil cap batik dengan motif daun jati terlihat sempurna. Tidak ada kesalahan sedikitpun dalam mengecap pola-pola tersebut meski terlihat sangat sulit jika tidak benar-benar sigap dan teliti.
"Harus pas ngecapnya, kalau tidak, bisa meluber dan tidak rapi," ujarnya.
Nampak bahan-bahan mentah seperti malam (lilin, Red.), krengsengan, dan pewarna pakaian terserak di lantai rumahnya yang masih berupa tanah.
Setelah pengecapan selesai, dengan cekatan, wanita berhijab itu membentangkan hamparan kain untuk diangin-anginkan agarmalam dan pewarna pakaian sebagai bahan dasar membatik kering sempurna.
"Dibeberkan saja atau diangin-anginkan, kalau dijemur malam hari maka motifnya akan luntur atau meleleh," imbuhnya.
Setelah kering, Ruroh menyiapkan bak besar yang biasa digunakan memandikan bayi untuk melakukan penguncian warna. Cukup menggunakan 500 mililiter larutan penguat warna yang lazim disebut water glass ini.
Dengan menyandarkan kruk di tiang rumahnya yang terbuat dari papan kayu, wanita yang masih belum berumah tangga ini kemudian mulai memasukkan lembaran kain yang sudah berpola ke dalam bak. Diperasnya kain tersebut agar water glass bisa membasahi dan mengunci pola itu. Tujuannya, agar malam yang digunakan sebagai bahan dasar tidak luntur dan hilang.
"Setelah ini, ya dibentangkan dan diangin-anginkan lagi," ucapnya.
Tidak ada kata menyerah dalam proses membatik, baginya, menyandang disabilitas bukan halangan untuk berkarya. Membatik menjadi hal yang membanggakan dalam hidupnya. Bagaimana tidak, dalam waktu empat bulan saja, sudah banyak pesanan batik hasil karyanya. Mulai dari tetangga sekitar, sekolah, saudara, sampai Bupati Bojonegoro.
"Saya tekadnya akan terus membatik, dibantu adik saya, yang mengantarkan pesanan," tuturnya mantap.
Pendapatan dari membatik inipun bisa menambah penghasilan keluarga Ruroh yang hanya mengandalkan hasil tani saudara iparnya. Setiap bulan, bersama adik perempuannya itu, dia bisa meraih untung bersih hingga Rp500.000, yang digunakan selain untuk menambah modal, juga untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Ilmu membatik ini tidak didapatkan begitu saja. Ruroh bersama 21 warga lainnya di Kecamatan Gayam, belajar membatik mulai dari dasar. Mereka tergabung dalam Program Pengembangan Industri Kreatif Batik Jonegoroan yang diprakarsai ExxonMobil Cepu Limited (EMCL). Selama mengikuti program, penerima manfaat program didampingi oleh mitra EMCL, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) setempat, yaitu Ademos.
"Awalnya tidak bisa, tapi karena dukungan keluarga akhirnya bisa dan alhamdulilah kata orang-orang hasilnya bagus," tutur dia yang kini sudah memiliki rumah produksi batik Al-Falah.
Ruroh juga sempat mengikuti acara yang digelar Pemkab Bojonegoro bertajuk Bojonegoro Fashion & Art Award pada awal November lalu. Hasilnya, Bupati Suyoto memesan satu set kain batik miliknya.
"Saya tidak menyangka, sampai Bupati saja memesan kain batik saya. Itu menjadi penyemangat untuk terus mengembangkan usaha batik ini," ucapnya berseri-seri.
Sekretaris Ademos, Ahmad Shodiqurrosyad, mengungkapkan, Program Pengembangan Industri Kreatif Batik di Kecamatan Gayam ini diinisiasi EMCL sejak Juli 2017. "Dalam pelatihan ini para peserta mendapat penguasaan tehnik membatik dan kewirausahaan," jelasnya.
Untuk program ini, para penerima manfaat seperti Ngasruroh telah menerima peralatan dan perlengkapan membatik, fasilitas rumah produksi berupa instalasi pembuangan air limbah (IPAL) batik, tas batik, dan katalog batik. Mereka juga memperoleh akses ke koperasi sebagai fasilitas produksi dan ke Toko Bojonegoro sebagai fasilitas pemasaran serta akses kepada seluruh jejaring produsen batik yang sudah dimiliki Ademos. "Kita akan terus melakukan pendampingan, sampai mereka sukses nantinya ke depan," tegasnya, berkomitmen.
Sementara itu, External Affairs Manager EMCL, Dave A Seta menjelaskan, program pengembangan batik Jonegoroan sudah dirintis EMCL sejak tahun 2010. EMCL mendukung pengembangan potensi lokal Bojonegoro ini sebagai dukungan atas semangat kemandirian, kreativitas, dan memperkaya budaya lokal. “Batik Jonegoroan ini sekaligus menjadi identitas Kabupaten Bojonegoro,” ucapnya.
Atas persetujuan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), EMCL melaksanakan berbagai program kemasyarakatan dan dukungan terhadap kegiatan-kegiatan di masyarakat sekitar wilayah operasi. Dalam mewujudkannya, EMCL mengacu pada tiga pilar, yaitu pendidikan, kesehatan, dan pengembangan ekonomi. “Program batik ini merupakan komitmen kami dalam program pengembangan ekonomi masyarakat di sekitar wilayah operasi EMCL,” kata Dave.
Dave menyampaikan apresiasi kepada masyarakat yang telah mendukung terwujudnya kesuksesan proyek negara di Lapangan Banyu Urip. Menurutnya, tanpa dukungan dari masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, kesuksesan tersebut sulit tercapai. “Oleh karenanya, sinergi dan kolaborasi yang baik ini seyogyanya bisa terus berkelanjutan,” pungkasnya seraya berharap. [Team]