Penulis : Waris
Awal tahun 1996, saya mondok di Pondok Pesantren Al-Fauzan Dusun Karame’e Desa Ongkoe Kec. Belawa Kab. Wajo.
Pondok Al-Fauzan adalah pondok takhassus tahfiz Alquran. Santrinya merupakan utusan dari seluruh kabupaten/kota se Sulawesi Selatan kala itu. Saya sendiri menjadi duta Pondok Pesantren At-tahiriyah Kab. Sinjai.
Pondok terisolir tapi membanggakan. Hanya terdapat satu buah sekolah dasar dengan dinding tersusun dari bilah papan. Selain sekolah ini, ada pula tiga buah rumah; rumah pak Dullah, rumah pak Latto, dan rumah Pung Cenning. Antara rumah Pung Cenning dan dua rumah lainnya berjarak sekitar 500 meter.
Asrama yang kami tempati berada di tengah rumah-rumah itu. Sedangkan masjid tempat mengaji berjarak kurang lebih 300 meter di arah selatan asrama.
Tidak hanya sunyi dan sepi, asrama pondok yang terbuat dari kayu itu pun sangat panas di siang hari dan amat dingin di malam hari. Gangguan serangga (kupu-kupu putih kecil) yang melekat pada badan, pakaian, dan kelambu membuat kami tak bisa tidur karena gatal.
Mesin diesel yang digunakan pondok sebagai pembangkit listrik nyaris setiap malam macet. Jika padam, semua teman-teman takut dan panik karena tidak ada cahaya sama sekali, kecuali kunang-kunang yang hinggap di dinding asrama, seakan meminjamkan percikan cahayanya.
Gonggongan anjing hutan yang seakan mengusir penjelajah malam serta suara burung hantu yang mendominasi kesunyian hutan yang tak jauh dari asrama semakin menambah ketakutan.
Setiap bangun malam untuk menghafal dan murajaah, kami hanya menggunakan senter atau pelita kecil. Asapnya yang berwarna hitam pekat kadang menjadi hiasan di hidung, bahkan mengisi lubang hidung. Tidak jarang napas menjadi sesak disertai batuk.
Di subuh hari, terkadang santri harus mengeluarkan keringat untuk mendapatkan air wudu. Sumber air satu-satunya adalah sumur bor yang mengguanakan pompa tangan manual karena dinamo air tak dapat berfungsi.
Akhir pekan kami tidak seindah akhir pekan anak-anak pada umumnya. Kami diwajibkan mencari kayu bakar untuk keperluan memasak air minum.
Selain itu, secara bergiliran, kami mengambil bekal konsumsi di Ongko (ibu kota desa) dengan menggunakan sepeda. Namun, jika musim hujan, jalan kaki sejauh 4 km pergi-pulang adalah satu-satunya pilihan, sambil memikul beras, ikan masak, sayur, dan minyak tanah.
Rasa rindu yang membuncah di dada makin terasa setelah beberapa bulan berpisah dengan orangtua. Menambah kesunyian batin. Air mata tak jarang membanjiri wajah, menjadi saksi akan perjuangan kala itu.
Bagaimana saya menaklukkan semua tantangan itu untuk menjadi seorang hafiz?
Awalnya, mulai dari proses tahsin qiraah, menyetor hafalan baru dan setoran murajaah juz 1 berjalan dengan baik dan lancar. Bahkan, guru kami Ust. Syahrullah memberikan apresiasi setelah saya diuji coba dengan juz 1 itu.
Namun, “badai” pada akhirnya muncul ketika saya menghafal juz kedua Surah Albaqarah. Dimulai dari ayat 191: واقتلوهم حيث ثقفتموهم yakni halaman 9 pojok kiri atas sampai ayat 196 و اتموا الحج و العمرة لله pojok kiri bawah.
Menghafalkan ayat tetsebut, berat, dan susah sekali bagi saya. Kepala terasa panas dan badan seakan tak bertenaga, sehingga hafalan tak dapat masuk ke hati. Esok harinya, saya berusaha memperbaikinya untuk setoran pagi itu. Namun, kegagalan masih berpihak pada saya. Saya menangis karena teman-teman sudah menyalip jauh.
Mental terganggu. Akhirnya, saya putuskan untuk berhenti. Saya ingin lari meninggalkan Pondok karena stres. Sayangnya, saya tak tahu jalan pulang. Selalu tidak ada pilihan lain, karena itulah saya masih juga tinggal di asrama. Melihat teman-teman tak punya masalah, saya semakin down dan ingin segera melarikan diri, akan tetapi tak tahu jalan dan takut sama guru. Kelak, saya sungguh bersyukur tidak tahu arah pulang kala itu.
Suatu malam, guru kami bangun salat tahajjud. Saya ikut salat di belakangnya dan menikmati bacaannya yang begitu merdu.
Usai salat, saya kembali ke kasur membaringkan badan. Gelisah tak dapat tidur, berpikir antara tetap menghafal atau meninggalkan pondok.
Waktu subuh pun tiba, saya merasakan bantal sudah basah dengan air mata karena dilema “pulang atau tetap tinggal”. Jika tetap tinggal, tak ada gunanya karena hafalan tak bisa masuk. Mau pulang, tak tahu akses. Rasa rindu kepada mama dan bapak makin menggodaku untuk minggat.
Satu setengah jam setelah salat subuh, kami kumpul untuk meyetorkan hafalan. Saya gagal lagi. Aturan guru yang melekat adalah tiga kali tersangkut, maka harus mengulang lagi esok harinya. Saya pun menangis lagi.
Saya akhirnya tidak mau lagi menyentuh Alquran, tidak mau mengaji. Saya tiba di puncak keputusasaan.
Pagi hari itu, usai semua santri menyetorkan hafalan, guru kami bercerita tentang pengalamannya menghafal Alquran di Pannampu Makassar. Beliau bercerita tentang perjuangannya menaklukkan sekolahnya di STM dan hapalan Alqurannya yang harus disetor ke guru dengan berjalan kali melewati banyak lorong.
Mendengar itu, saya tergugah dan mengurungkan niat untuk berhenti. Bahkan, saat itu saya minta guru menggundul kepala saya agar terasa dingin saat menghapal.
Alhamdulillah, setelah melewati halaman 9 juz 2 tersebut, semua menjadi lancar dan sukses khatam 30 juz dalam jangka kurang lebih 1 tahun.
Saya sampikan cerita dan pengalaman pribadi ini untuk para santri yang sementara berjuang.
Ternyata, batu sandungan tidak selamanya menciderai, akan tetapi terkadang membangkitkan semangat juang. Bimbingan seorang mursyid atau guru amat berharga, karena itulah hormati dan muliakan gurumu. Tempat tidak selamanya penentu kesuksesan. Capailah cita-citamu dengan penuh kesungguhan dan kesabaran.
Selamat Hari asantri Nasional (HSN) 2018.
“Bersama Santri Damailah Negeri”. (*/JW)
Awal tahun 1996, saya mondok di Pondok Pesantren Al-Fauzan Dusun Karame’e Desa Ongkoe Kec. Belawa Kab. Wajo.
Pondok Al-Fauzan adalah pondok takhassus tahfiz Alquran. Santrinya merupakan utusan dari seluruh kabupaten/kota se Sulawesi Selatan kala itu. Saya sendiri menjadi duta Pondok Pesantren At-tahiriyah Kab. Sinjai.
Pondok terisolir tapi membanggakan. Hanya terdapat satu buah sekolah dasar dengan dinding tersusun dari bilah papan. Selain sekolah ini, ada pula tiga buah rumah; rumah pak Dullah, rumah pak Latto, dan rumah Pung Cenning. Antara rumah Pung Cenning dan dua rumah lainnya berjarak sekitar 500 meter.
Asrama yang kami tempati berada di tengah rumah-rumah itu. Sedangkan masjid tempat mengaji berjarak kurang lebih 300 meter di arah selatan asrama.
Tidak hanya sunyi dan sepi, asrama pondok yang terbuat dari kayu itu pun sangat panas di siang hari dan amat dingin di malam hari. Gangguan serangga (kupu-kupu putih kecil) yang melekat pada badan, pakaian, dan kelambu membuat kami tak bisa tidur karena gatal.
Mesin diesel yang digunakan pondok sebagai pembangkit listrik nyaris setiap malam macet. Jika padam, semua teman-teman takut dan panik karena tidak ada cahaya sama sekali, kecuali kunang-kunang yang hinggap di dinding asrama, seakan meminjamkan percikan cahayanya.
Gonggongan anjing hutan yang seakan mengusir penjelajah malam serta suara burung hantu yang mendominasi kesunyian hutan yang tak jauh dari asrama semakin menambah ketakutan.
Setiap bangun malam untuk menghafal dan murajaah, kami hanya menggunakan senter atau pelita kecil. Asapnya yang berwarna hitam pekat kadang menjadi hiasan di hidung, bahkan mengisi lubang hidung. Tidak jarang napas menjadi sesak disertai batuk.
Di subuh hari, terkadang santri harus mengeluarkan keringat untuk mendapatkan air wudu. Sumber air satu-satunya adalah sumur bor yang mengguanakan pompa tangan manual karena dinamo air tak dapat berfungsi.
Akhir pekan kami tidak seindah akhir pekan anak-anak pada umumnya. Kami diwajibkan mencari kayu bakar untuk keperluan memasak air minum.
Selain itu, secara bergiliran, kami mengambil bekal konsumsi di Ongko (ibu kota desa) dengan menggunakan sepeda. Namun, jika musim hujan, jalan kaki sejauh 4 km pergi-pulang adalah satu-satunya pilihan, sambil memikul beras, ikan masak, sayur, dan minyak tanah.
Rasa rindu yang membuncah di dada makin terasa setelah beberapa bulan berpisah dengan orangtua. Menambah kesunyian batin. Air mata tak jarang membanjiri wajah, menjadi saksi akan perjuangan kala itu.
Bagaimana saya menaklukkan semua tantangan itu untuk menjadi seorang hafiz?
Awalnya, mulai dari proses tahsin qiraah, menyetor hafalan baru dan setoran murajaah juz 1 berjalan dengan baik dan lancar. Bahkan, guru kami Ust. Syahrullah memberikan apresiasi setelah saya diuji coba dengan juz 1 itu.
Namun, “badai” pada akhirnya muncul ketika saya menghafal juz kedua Surah Albaqarah. Dimulai dari ayat 191: واقتلوهم حيث ثقفتموهم yakni halaman 9 pojok kiri atas sampai ayat 196 و اتموا الحج و العمرة لله pojok kiri bawah.
Menghafalkan ayat tetsebut, berat, dan susah sekali bagi saya. Kepala terasa panas dan badan seakan tak bertenaga, sehingga hafalan tak dapat masuk ke hati. Esok harinya, saya berusaha memperbaikinya untuk setoran pagi itu. Namun, kegagalan masih berpihak pada saya. Saya menangis karena teman-teman sudah menyalip jauh.
Mental terganggu. Akhirnya, saya putuskan untuk berhenti. Saya ingin lari meninggalkan Pondok karena stres. Sayangnya, saya tak tahu jalan pulang. Selalu tidak ada pilihan lain, karena itulah saya masih juga tinggal di asrama. Melihat teman-teman tak punya masalah, saya semakin down dan ingin segera melarikan diri, akan tetapi tak tahu jalan dan takut sama guru. Kelak, saya sungguh bersyukur tidak tahu arah pulang kala itu.
Suatu malam, guru kami bangun salat tahajjud. Saya ikut salat di belakangnya dan menikmati bacaannya yang begitu merdu.
Usai salat, saya kembali ke kasur membaringkan badan. Gelisah tak dapat tidur, berpikir antara tetap menghafal atau meninggalkan pondok.
Waktu subuh pun tiba, saya merasakan bantal sudah basah dengan air mata karena dilema “pulang atau tetap tinggal”. Jika tetap tinggal, tak ada gunanya karena hafalan tak bisa masuk. Mau pulang, tak tahu akses. Rasa rindu kepada mama dan bapak makin menggodaku untuk minggat.
Satu setengah jam setelah salat subuh, kami kumpul untuk meyetorkan hafalan. Saya gagal lagi. Aturan guru yang melekat adalah tiga kali tersangkut, maka harus mengulang lagi esok harinya. Saya pun menangis lagi.
Saya akhirnya tidak mau lagi menyentuh Alquran, tidak mau mengaji. Saya tiba di puncak keputusasaan.
Pagi hari itu, usai semua santri menyetorkan hafalan, guru kami bercerita tentang pengalamannya menghafal Alquran di Pannampu Makassar. Beliau bercerita tentang perjuangannya menaklukkan sekolahnya di STM dan hapalan Alqurannya yang harus disetor ke guru dengan berjalan kali melewati banyak lorong.
Mendengar itu, saya tergugah dan mengurungkan niat untuk berhenti. Bahkan, saat itu saya minta guru menggundul kepala saya agar terasa dingin saat menghapal.
Alhamdulillah, setelah melewati halaman 9 juz 2 tersebut, semua menjadi lancar dan sukses khatam 30 juz dalam jangka kurang lebih 1 tahun.
Saya sampikan cerita dan pengalaman pribadi ini untuk para santri yang sementara berjuang.
Ternyata, batu sandungan tidak selamanya menciderai, akan tetapi terkadang membangkitkan semangat juang. Bimbingan seorang mursyid atau guru amat berharga, karena itulah hormati dan muliakan gurumu. Tempat tidak selamanya penentu kesuksesan. Capailah cita-citamu dengan penuh kesungguhan dan kesabaran.
Selamat Hari asantri Nasional (HSN) 2018.
“Bersama Santri Damailah Negeri”. (*/JW)