BOjONEGORO - Dunia pendidikan tengah dihebohkan oleh polemik wisuda non-sarjana. Kegiatan perpisahan alias tutup tahun bagi para siswa yang telah menamatkan pendidikan, kini berubah nama menjadi wisuda. Wisuda itu dinilai berlebihan, menghabiskan uang banyak dan mengurangi esensi wisuda lulusan perguruan tinggi.
Beberapa orang tua mengeluhkan adanya wisuda yang terkesan memaksa, dan juga harus mencari uang tambahan kelulusan untuk kegiatan wisuda, seperti membayar wisuda, sewa jas atau pakaian untuk wisuda, dan lainnya.
"Bagi yang mampu sih tidak apa apa, tapi bagi kami yang ekonomi sulit, apalagi belum membayar sekolah dengan lunas juga," Ujar Seorang perempuan yang juga wali murid sekolah yang enggan dimediakan namanya dan sekolah anaknya ini.
Karena menurut beberapa orang tua, pasca kelulusan belum juga berfikir tentang rencana biaya kuliah dan lainnya, dan juga ada yang belum menerima ijasah karena tunggakan biaya sekolah sebelumnya.
Sekretaris komisi C DPRD Kabupaten Bojonegoro, Ahmad Supriyanto kepada wartawan mengatakan bahwa Wisuda sekolah memang banyak diselenggarakan sekolah mulai TK hingga SLTA, dan memang banyak keluhan dari para orang tua wali mudid.
"Kami menerima informasi dan laporan dari beberapa wali murid terkait wisuda sekolah ini, ada yang memang merasa berat," Kata Ahmad Supriyanto.
Politisi asal partai Golkar ini juga menyampaikan bahwa Prinsip utamanya wisuda jangan sampai mengarah kepada perilaku hedonis, memaksa dan membebani orang tua, menciptakan diskriminasi, dan memberi peluang terjadinya pungutan liar.
"Harusnya sekolah khususnya SLTA bisa memberikan peluang untuk mencari kampus baru untuk kuliah, atau peluang kerja, bukan malah menciptakan beban bagi orang tua siswa siswi sekolah," Ujar pria yang akrab disapa mas Pri ini.
Dalam waktu dekat Komisi C DPRD Bojonegoro akan memanggil steak holder terkait guna membahas terkait persoalan wisuda sekolah non sarjana ini.
Reporter : Bima Rahmat